Pak Dokter/Bu Dokter, saya mengapresiasi solidaritas
yang dokter hadiahkan buat dokter Ayu di Manado. Esprit of the corps itu
manusiawi. Kendati demikian, kami juga memiliki pengalaman menarik dan
memilukan dengan sikap dan perilaku dokter saat melayani kami sebagai pasien
atau keluarga pasien.
Dari bebarapa kali diskusi dengan teman-teman yang berprofesi dokter, kami menganalisa bahwa : 1. Kultur kita
masih terlalu menempatkan dokter jauh di atas langit memelebihi profesi lain
yang ada di dunia ini. 2. Akibat culture itu, para dokter di Indonesia memiliki
paradigma dirinya lebih tinggi dari pasiennya. 3. Paradigma yang aneh ini,
menurut saya, mengimplikasikan banyak hal, diantaranya : Dokter enggan
berkomunikasi dengan prinsip kesetaraan dengan pasien atau keluarga pasien
manakala membicarakan tentang penyakit pasien itu sendiri.
Akibatnya pasien
atau kelurga pasien juga terbawa suasana passif seolah pasrah dan berprinsip
dokter serba tau, serba benar dan maha tau. Jadi mirip Tuhan. Ini berbahaya
Bapak/Ibu Dokter, dan sedihnya sampe sekarang kita masih saja menemukan
hubungan antara dokter dan pasien yang timpang seperti itu. Dari berbagai rumah
sakit, baik swasta dan milik pemerintah yang saya pernah gunakan jasanya di
Johor Bahru, Malaka dan Kuala Lumpur, Malaysia, hal seperti ini sudah tidak
lagi kita temukan. Dokter di Malaysia lebih membumi dan lebih memiliki
paradigma melayani pasien sama seperti Dealer Mobil Mercy melayani konsumennya
ketimbang memposisikan kasta dirinya lebih tinggil dari pasien.
Masih banyak
hal sesungguhnya yang masih bisa kita diskusikan dan pelajari dari kasus dokter
Ayu di Manado. Saya sendiri akibat dari kurangnya informasi dari dokter, terus
merasa bersalah dengan kondisi dua putri kembar kami yang sampai saat ini
menderita BLIND. Saya tidak menuduh itu akibat kesalahan dokter, tapi saya
tidak bisa menutupi perasaan saya yang begitu kecewanya atas perilaku dokter
dan minimnya informasi yang diberikan dokter kepada kami orang tuanya mengenai
apa yang harus dan dapat kami lakukan atas kondisi putri kebar kami yang
sekarat kala itu. Apa yang kami dapatkan, jauh dari sikap dan tindakan professional
dari seorang dokter yang saya fahami. Akibat minimnya informasi yang kami
terima, kami jadi kehilangan kesempatan untuk melakukan beberapa hal yang
mungkin masih bisa kami lakukan untuk menyelamatkan mata putri kembar kami.
Atau setidaknya, kendati pun tidak berhasil, tetapi jika kami telah berupaya
semaksimal mungkin, minimal kami tidak merasa bersalah seumur hidup.
Saya harus
mengadu kemana pak dokter? Ini persoalan kita semua, kita semua mendorong dan
menginginkan dokter Indonesia lebih manusiawi, lebih peduli dan lebih membumi.
Kami mendukung gerakan membangkitkan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik bangsa
Indonesia demi kehidupan kita yang lebih baik. Mudah-mudahan dokter memahami
sudut pandang pasien pula dalam hal pelayanan medik di Negara tercinta ini.
Salam hormat saya : Greos Saragih, ayah dari 2 putri kembar ( Agena Mercy
Saragih & Merylin Mercy Saragih ) yang kini buta tak bisa melihat setitik
cahaya pun sejak mereka lahir. Seorang ayah yan dulu pernah sangat kecewa atas
sikap dan pelayanan dokter Indonesia. Tapi kini kami telah bangkit dan malah
bersemangat membangkitkan orang lain yang membutuhkan. Selamat melayani bagi bangsa
kita