Minggu, 27 April 2014

MENJADI ORANG BAIK ATAU SUKSES?

Semalam menjelang tidur, saya berdiskusi sangat serius dan, yang menurut saya, adalah diskusi yang paling berkualitas yang pernah kami lakukan dengan anak kami Stephane Jesse Saragih ( 8) tahun. Ia biasa dipanggil Abang Tipen.
Inilah diskusi kami yang paling mengesankan sepanjang ia dihadiahkan Tuhan sebagai anggota keluarga kami. Sebelumnya diskusi kami hanya sebatas tanya jawab biasa saja dan selalu kujawab sekenanya untuk memenuhi rasa ingin taunya yang masih kelas 3 SD.

Senin, 07 April 2014

"BIAYA SIRAMAN FAJAR"

Dalam hatiku, saya marah semalam. Bertemu dengan 1 orang sahabat yang telah kunkenal kepribadiannya sejak 10 tahun lalu.

Teman yang saya kenal ini adalah calon anggota legislatif di daerah pemilihan Bintan. Dengan raut wajah yang sulit saya baca, entah senyum atau sedang nelangsa, ia mengatakan " "Saya sudah habis dekat 700 juta". Dia pun mencoba mengungkapkan maksud ingin meminjam dana kepada saya karena sangat dibutuhkan untuk "biaya siraman fajar", demikian ia menjelaskan. "Masih kurang sekitar 100 juta lagi, paling lambar Selasa sudah harus dibagikan" ujar teman saya itu.

Kamis, 03 April 2014

TUHAN MANA YANG MEMBERKATI NEGERI CINA?

                                 
Kesan pertama yang kuperoleh begitu sampai di Bandara Beijing, 26 Juni 2013, adalah bahwa negeri China sebuah Negara yang besar dan maju. Pantas mereka angkuh dan sedikit berbangga di hadapan dunia Internasional. Itu sangat wajar fikirku. Lalu esok harinya kami berangkat menuju Provinsi Shandong naik mobil. Sepanjang jalan kenangan, semuanya rapi, indah dan sangat luar biasa. Jalan tolnya sangat rapi, teratur, bersih dan panjang sekali. Sepanjang perjalanan sekitar 4,5 jam, kami tidak pernah bertemu dengan kemacetan. Ah… Indonesia, bangsaku tertinggal sangat jauh.

PEMERINTAH DOYAN PAMER


Kelihatannya pemerintah kita lebih suka bersolek. Mereka suka pamer ketimbang bekerja keras membenahi hal-hal yang lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat. Yang lebih menonjol soal pamer memamer ini tersaji menggemaskan tiap hari di media publik. 

Menerima penghargaan sekecil apapun pamer. 

Melakukan perkara - perkara kecil, pun juga dipamerkan.

PEMIMPIN SALAH KAPRAH


Ada banyak pemimpin yang mengalami penyakit tujuan. Mereka beranggapan bahwa mereka telah "sampai" pada tujuan setelah meraih suatu posisi atau kekuasaan. Saat mereka menduduki posisi/kekuasaan, lalu berhenti atau menurun konsistensi dan semangatnya berjuang untuk mewujudkan impiannya sebelum memimpin/berkuasa. 

KEJAMNYA SEORANG AYAH

 DISKRIMINASI DALAM KELUARGA

Sebuah keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan 7 orang anak, memiliki hanya seekor sapi betina. Tiap hari sang Ayah memerah susu sapi mereka dan hanya memberikan susunya kepada anaknya yang no 1 dan 7 dan dirinya sendiri. Sedangkan istri dan anaknya yang lain ( yang merupakan jumlah yang lebih besar dari mereka sekeluarga ) tidak mendapatkan apa-apa, paling banter hanya mendapatkan sisa kerak susu. 

Akhirnya sang Ayah dan anak no 1 dan no 7 tumbuh sehat dan cerdas, serta mampu mengembangkan diri. Sedangkan si istri dan anaknya yang lain tetap kurus, kurang giji, merasa disingkirkan dan rendah diri.

Gambaran di atas kiranya cukup menjelaskan bagaimana Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Pemkab Bintan mengelola SDA ( khususnya bauksit ) di kawasan ini. Entah denan alasan apa, sebagian orang tertentu berhak mendapatkan, mengelola dan menikmati hasilnya. Sementara sebagian besar sisanya sama sekali tidak diberi dan didorong untuk mendapatkan kesempatan yang sama minum susu.

Kita merindukan "AYAH" yang bijak yang memiliki nurani untuk membagikan susu kepada semua orang.

ANDA INGIN BEROBAH?


Ada beberapa hal yang tidak bisa kita pilih dalam hidup, misalnya tempat lahir, orang tua yang melahirkan, jenis kelamin, ras dll. Yang berbahaya adalah cara berfikir bahwa sikap /sifat/karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sehingga sering kita mendengar kata-kata seperti : Ya..apa boleh buat beginilah sifatnya, tak mungkin dirubah lagi. Begitulah karakterku dari sononya, bagaimana bisa kurobah?

Anggapan bahwa sifat, sikap dan karakter adalah sesuatu yang demikaian adanya dan tidak dapat dirobah adalah pandangan keliru. Siapapun bisa merobah sifat, sikap dan karakternya. Karena ketiga hal itu berada pada wilaya kita sendiri. Bagaimana sifat, sikap dan karakter seseorang bukan hal yang memang begitu dari sononya ( given ), tatapi itu soal pilihan.

Jika kita perhatikan, dalam kehidupan sehari-hari, pada saat berdebat kelas ringan sampai kelas berat, masih banyak istri kepada suaminya mengatakan : " Beginilah sifat dan karakterku, apa boleh buat, ini kan bawaan lahir. Apa boleh buat, sudah takdirmu memperistrikan aku".

Haa.....kepala langsung mumet...

PERJUANGAN MASUK SURGA


Ketika pemerintah negara tetangga kita berjuang dengan berbagai cara dan upaya untuk meingkatkan kesejahteraan warganya melalui perbaikan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sistem perekonomian yang lebih fair, pemerintah di negeri ini mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat sepertinya sibuk memperjuangkan rakyat untuk masuk surga. Alaih-alih berfokus memperbaiki infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sistem perekonomian yang lebih fair, mereka malah sibuk membuat perda tentang beribadah, menggunakan kerudung, dan lain sebagainya.

PELAJARAN MORAL DARI GUNUNG SINABUNG



Sempat termenung speechless mendengar 7 orang kader GMKI meninggal dunia dalam bencana gunung sinabung beberapa waktu lalu. Saya lantas berfikir, di jaman serba egois masa ini, masih ada segelintir orang, dari kelompolk mahasiswa, yang kini sudah langka kita temuai, yang meneladankan sikap patriotisme menolong orang lain, sekalipun mempertaruhkan nyawanya sendiri. Sementara pejabat kita, bahkan diri kita juga, telah terbiasa dengan sibuk mengurusi dirinya sendiri, partainya sendiri, kelompoknya sendiri, sukunya sendiri, bisnisnya sendiri, bahkan hasratnya sendiri.

7 PENDEKAR KEMANUSIAAN



Sahabatku 7 Orang mahasiswa GMKI Kutacane yang meninggal dalam missi kemanusiaan pada musibah Gunung Sinabung di Tanah Karo,

Aku ingin mengenangmu sebagai pahlawan kemanusiaan, pahlawan yang sadar betul resiko yang menghadangnya, tapi tetap rela berkorban demi kemanusiaan itu sendiri.

UANG DAN ETIKA MORAL


Bukan..bukan uang yang dapat memperbaiki dunia ini, kita hanya dapat bersandar kepada kualitas kebajikan, kebaikan, etika dan moral setiap orang, dan itulah yang mampu memperbaiki dunia.

SAKIT JIWA


Saya mengamati, ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita : Ada yang sakit, tapi normal. Tetapi kebanyakan kelihatan normal, tetapi perilakunya seperti orang sakit. Jadi ada yang sakit, tapi normal, dan ada yang normal, tetapi sakit. Gak percaya? 

HATI YANG BERSIH DAN JERNIH

                                 
Air bersih dan jernih mesti berasal dari mata air yang bersih. Jika sumber mata airnya kotor, misalnya terkontaminasi oleh kotoran, karat, dan limbah pengotor lainnya, maka air yang dihasilkan pasti kotor. 
Demikian halnya dalam kehidupan kita. Hal-hal yang baik seperti fikiran jernih, gagasan baik, anak-anak yang sopan, budaya yang membangkitkan, anak-anak yang cerdas, demokrasi yang bermartabat, anggota DPR dan DPRD yang baik, mesti dihasilkan dari "mata air" masyarakat yang bersih dan jernih.

Rabu, 02 April 2014

KETOK PALU



Jangan sembarangan dengan kata "ketok palu". Sederhana memang, hurufnya hanya 9 karakter, dan hanya terdiri dari 2 kata. Tapi bagi sebagian masyarakat, kata itu mengandung sejuta makna dan harapan. Karena itu “ketok palu” ini sangat dinanti-nantikan oleh seseorang, sekelompok orang, komunitas, LSM atau organisasi tertentu, atau mungkin juga lembaga keagamaan. Ada kondisi yang sangat jauh berbeda, sebelum dan sedudah ketok palu dilaksanakan. Sebelum palu diketok, banyak yang merintih-rintih, layu, seperti kurang giji, lesu dan kurang bersemangat. Pada situasi sdeperti ini, mereka yang menunggu-nunggu ketok palu menghabiskan waktu lebih banyak di rumah bersenda gurau dengan keluarga.

Lena Maria Dan Pemilu Legislatif 2014



Lena Maria Dan Pemilu Legislatif 2014

"Saya lebih memilih bersyukur atas apa yang dapat saya lakukan, daripada kecewa atas apa yang tidak dapat saya lakukan," demikian ungkapan inspiratif dari seorang Lena Maria

Lena Maria lahir di Swedia, 28 September 1968. Ia tidak seberuntung kita. Ia lahir cacat fisik, tanpa lengan dan hanya memiliki kaki kanan yang berfungsi normal, sedangkan kaki kirinya tidak dapat difungsikan dengan baik. Praktis ia hanya menggunakan kaki kanannya, dengan sedikit bantuan kaki kiri yang kecil untuk melakukan segala aktifitas setiap hari.

Meski dilahirkan dengan berbagai keterbatasan secara fisik, dalam hidupnya ia berusaha keras dan berjuang mati-matian mengupayakan yang terbaik, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga demi kebaikan orang lain. Pada usia 18 tahun Lena Maria menjadi juara dunia renang dan meraih medali emas.

Meski memiliki banyak keterbatasan, Lena Maria juga belajar musik dan lulus dari The Royal University College Of Music Swedia. Ia telah membuat beberapa album dan sukses mengadakan konser Internasional di Moskow, Latvia, Amerika, Hongkong, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan.

Dalam hidupnya, Lena Maria rajin mengadakan charity tour, mengunjungi beberapa orang yang cacat fisik di berbagai negara dan memberikan motivasi agar mereka terus berjuang melakukan yang terbaik. Lena Maria selalu mengatakan : "Lebih baik bersyukur atas apa yang dapat kita lakukan ketimbang kecewa dan mengutuki hal-hal yang tidak dapat kita lakukan".

Lena Maria memang terbatas dalam banyak hal. Ia cacat dan terbatas secara fisik. Tetapi ia tetap bersemangat dan sunguh-sungguh melakukan lebih banyak hal ketimbang menyesali keterbatasannya.

Kendati cacat fisik, tetapi Lena Maria tidak cacat mental. Saya menjamin, jika menonton sepenggal biografi Lena Maria di tautan http://www.youtube.com/watch?v=89Xi0tUj4hg, kita mesti terharu dan meneteskan air mata. Setelah menyimak, walaupun kita sehat lahir dan batin, kita tiba-tiba merasa kerdil di hadapan seorang Lena Maria.

Berbeda dengan situasi masyarakat kita menjelang Pemilu Legislatif 2014 saat ini. Banyak yang kelihatan sehat secara fisik, tidak kurang suatu apap pun dan secara fisik jauh lebih sempurna ketimbang seorang Lena Maria. Tapi sesungguhnya jika kita amati lebih jauh kondisi masyarakat kita hari-hari ini, jika kita renung-renungkan, banyak yang mengalami penyimpangan karakter. Ternyata kita tidak lebih baik dari Lena Maria yang tidak memiliki tangan itu. Dalam kesempurnaan kita, ternyata kita tidak lebih baik dari Lena Maria. Mengapa demikian?

Sebab kesempurnaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita, belum sepenuhnya kita gunakan untuk memuliakan Manusia dan Tuhan.

Pada masa menjelang Pemilu Legislatif 214 ini, kita masih banyak menemukan perilaku banyak pihak yang merendahkan martabat manusia. Kampanye yang mubajir dan hanya sekedar tebar pesona, janji-janji palsu yang jauh dari realitas dan sulit diterima akal sehat. Dimana-mana kita menemukan praktek money politik yang dilakukan Calon Anggota Legislatif berkolaborasi dengan masyarakat pemilik hak suara.

Di sinilah letak perbedaannya. Jika Lena Maria menggunakan suaranya untuk memotivasi banyak orang di seluruh dunia, berbanding terbalik dengan pemilik hak suara di negeri ini.

Karena kita tidak sempat atau tidak memiliki kemampuan menghubung-hubungkan peristiwa ini dengan nilai-nilai etika dan moral politik, maka semua praktik tidak sehat itu terlihat seperti wajar-wajar saja. Ibaratkan penyakit yang dibawa-bawa, akhirnya kelihatan dan terasa  seperti tidak sakit. Kemudian, karena sudah terbiasa, kita berfikir tidak ada yang salah dengan semua itu.
Padahal apa yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat saat ini, ibarat kita menghujamkan belati ke jantung demokrasi Indonesia lalu membiarkannya berdarah-darah dan terinfeksi akut. Praktik kotor dalam pesta demokrasi terus berlangsung dari periode pemilu sebelumnya hingga ke periode pemilu sekarang ini. 
Seolah-olah apa yang terjadi di masa lalu seperti berbagai kasus konspirasi dan korupsi yang membelit mantan anggota DPRD, DPR RI dan beberapa Kepala Daerah di Indonesia, belum cukup menjadi tamparan keras bagi kita semua. Padahal kasus-kasus yang mempermalukan demokrasi kita itu bersumber dari kontribusi individu-individu masyarakat pemilih, lalu terakumulasi dalam suara satu kelurahan, suara masyarakat dalam satu kecamatan, suara masyarakat dari satu kota/kabupaten dan tergabung menjadi suara masyarakat satu provinsi. Sekedar sebagai contoh, suara yang demikian  itulah yang menghantarkan mantan anggota legislatife seperti Nazarudin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Panda Nababan, Khairun Nisa dan masih banyak contoh lainnya.
Sumber utama masalahnya adalah, kita sebagai masyarakat pemilik hak suara, ketika memilih seseorang di bilik TPS  juga berkontribusi menebarkan “virus” dan “bakteri” bagi penyebab terjadinya infeksi yang menggerogoti kesehatan demokrasi Indonesia yang berdampak negatif baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional dalam berbagai bentuk, misalnya :  1. Di antara kita masih banyak menjadikan sejumput uang sebagai alasan memilih seorang calon anggota legislatife ataupun calon kepala daerah, 2. Masyarakat kita belum menjadikan kualitas intelektualitas, moral dan integritas calon sebagai indikator utama menjadi alasan memilih seseorang di bilik TPS, 3. Masyarakat kita masih terpersok dalam buaian  janji-janji irrasional pada saat kampanye dan pesona janji –janji palsu itu terbawa sampai ke bilik TPS. Padahal demokrasi yang sehat, baik dan bermartabat adalah kontribusi dari setiap individu pemilih dan mereka yang kita pilih. Demokrasi ideal yang kita idam-idamkan itu  dapat terwujud bila kita semua berani menolak  dengan tegas setiap praktik kotor dalam Pemilu Legislatif 2014 ini sekaligus membangun landasan mempersiapkan demokrasi yang lebih berkualitas pada Pemili Legislatif periode berikutnya.

Lena Maria memang cacat fisik, tapi ia tidak cacat karakter. Ia teguh mendedikasikan hidupnya menjadi alasan atau penyebab bagi kebaikan orang lain. Sementara di negeri kita tercinta ini, banyak yang sempurna secara fisik, tapi mengidap sindrome yang berhubungan dengan penyimpangan moral. Dan kebanyakan kita menutup mata atas kenyataan itu. Masyarakat kita tidak berani jujur dan terbuka mengenai hal ini.
Kita mungkin perlu mengundang Lena Maria hadir dalam kampanye Partai Politik di negeri ini, agar kita dapat belajar nilai-nilai kebajikan daripadanya. Agar kita lebih bersemangat dan belajar betapa kita memiliki peluang melakukan hal-hal yang lebih baik dari apa yang ia lakukan. Agar kita dapat sadar bahwa demokrasi kita telah lama larut dalam lumpur kepalsuan, larut dalam lumpur demokrasi yang jauh dari kategori mulia.
Jika Lena Maria yang cacat itu pun berani dan meneladankan kebaikan bagi orang lain, mengapa kita yang sempurna ini tidak tergerak melakukan yang terbaik demi masa depan anak-anak kita, bangsa dan Negara kita pada momentum pesta demokrasi ini? Kita tidak perlu menunggu Pemilu Legislatif berikutnya, kita dapat melakukannya pada tanggal 9 April 2014 nanti.  

Semuan Anak Pintar

SEMUA ANAK DICIPTAKAN PINTAR

Ada banyak cara untuk menjadi pintar, tidak hanya diukur dengan nilai/angka yang diperoleh anak dalam ujian mata pelajaran di sekolah. Jika guru dan orang tua menganggap dan berfikir bahwa anak yang pintar adalah apabila anak-anak mendapat nilai angka 8, dan 9 pada setiap ujian mata pelajarannya, maka itu bermakna pula bahwa guru dan orang tua lain menganggap dan berfikir bahwa anak yang mendapat angka 4, dan 5 pada ujian mata pelajran yang sama sebagai anak bodoh.

Bodoh dan pintar tidak dapat diukur dengan angka-angka itu, sebab setiap anak adalah pintar dan cerdas pada derajat yang berbeda-beda. Maka, sebagai orang tua maupun guru, kita sama sekali tidak berhak memberikan stigma pintar dan bodoh kepada anak didik. Mereka semua pintar dan cerdas dalam cara yang berbeda-beda, dan kepintaran dan kecerdasan itu tidak perlu diseragamkan, sebab dunia dimana kita hidup saat ini dan di masa yang akan datang sangat membutukan beragam kepintaran dan keahlian.

Biarkan anak-anak tumbuh dan berkembang dengan berbagai ragam dan warna sesuai dengan bakat dan keahlian mereka. Kita sebagai guru dan orang tua cukup medorong dan memfasilitasi anak untuk mencintai dirinya dan mengembangkan potensi dirinya, bukan membebani mereka dengan setumpuk tugas dan perintah yang memberatkan dan menjadikan hari-hari mereka tersiksa tanpa ceria.

Sebagai orang tua dan guru, jangan sampai kita lebih berperan sebagai beruang kutub atau mancan tutul daripada berperan sebagai sahabat anak yang setiap saat dapat mereka andalkan ketika mereka membutuhkan bantuan, dorongan, kasih sayang, pengertian, pendampingan, motivator, inspirator untuk mengarungi dunia yang luas ini.

Orang tua dan Guru adalah penentu sukses tidaknya masa depan anak-anak kita. Setiap orang tua dan Guru berpotensi menjadi inspirator dan motivator bagi anak, namun hati-hati, pada sisi sebaliknya, bila cara berfikir kita kerdil dan sempit, dapat pula menjadi senjata ampuh penyebab hancur leburnya masa depan anak. Tinggal kita pilih, mau jadi orang tua atau guru motivator dan inspirator atau sebaliknya, menjadi rudal patriot penghancur masa depan generasi penerus kita.

Kesejahteraan Buruh



SEBUAH PERENUNGAN UNTUK
UPAH MINIMUM DAN KESEJAHTERAAN BURUH



Setiap menjelang akhir tahun, topik pembahasan mengenai upah minimum dan kesejahteraan buruh selalu menghisap energi bangsa ini. Ribuan buruh tiap tahun menggelar demonstrasi turun kejalan menuntut kenaikan upah. Demonstrasi ini telah mengorbankan banyak hal :  Waktu, dana, tenaga, produktifitas bahkan kadang mengorbankan nyawa. Setiap tahun pula kita seolah dibawa pada jalur berfikir yang sulit. Sulit sebab kata “minimum” tidak mungkin melahirkan kondisi “sejahtera”. Dua kata itu tidak sepadan. Keduanya adalah kata yang sejatinya bertolak belakang. Akal sehat mengatakan bahwa kesejahteraan buruh tidak mungkin dicapai dengan upah minimum. Lalu sebetulnya adalah juga kesulitan membahas upah minimum dalam hubungannya dengan kesejahteraan buruh. Sebab yang minimal pasti hanya menghasilkan kemiskinan, tidak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan buruh, karyawan, pegawai atau apapun  sebutannya bagi setiap orang yang menerima upah.
Tanpa bermaksud mengubah judul pembahasan kita menjadi : Upah Maksimum dan Kesejahteraan Buruh, berikut ini penulis menawarkan gagasan sebagai berikut :  
Dilarang Menjadi Buruh
Pembahasan Upah Minimum tiap tahun selalu diawali dengan mindset ( cara berfikir ) tidak berkelimpahan dari para pengusaha Indonesia. Mindset ini menganut faham bahwa di dalam alam bawah sadar pengusaha Indonesia telah terlebih dahulu tertanam pemikiran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimum. Sebaliknya hanya pengusaha yang berhak menerima yang maksimum. Dan itu, bagi pengusaha adalah sah dan kodrati. Mashabnya adalah : Jika ingin mendapatkan yang maksimum, dilarang menjadi buruh. Inilah salah satu warisan feodal yang masih berakar di negeri ini sampai sekarang. Maka tidak heran jika budaya perusahaan kita secara umum di Indonesia kebanyakan masih mengedepankan prinsip : Tujuan akhir perusahaan adalah keuntungan, bukan kebaikan bagi manusia itu sendiri.
Pembahasan kenaikan upah buruh setiap akhir tahun, sesungguhnya bukan sekedar persoalan angka-angka. Inti dari demonstrasi buruh di berbagai daerah di Indonesia setiap tahun  menuntut upah yang lebih layak merupakan simbol perlawanan buruh atas fikiran yang feodal itu, yakni : Buruh hanya layak menerima minimal. Pada sisi lain para pengusaha kukuh mempertaruhkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimal. Membahas dua kepentingan ini bagaikan mempertemukan kutub Utara dan kutub Selatan.
Sedangkan pemerintah kelihatan tidak berdaya ditengah-tengah pusaran dua kutub itu. Berbagai regulasi dan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal  menentukan menaikkan upah minimum, kehidupan layak dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penentuan upah itu sendiri, sesungguhnya bukanlah hal mendasar dan bukan pula instrument yang benar-benar dapat diandalkan sebagai pedoman penentuan kenaikan upah. Akhirnya, kompromilah yang dijadikan dasar penentuan keputusan. Yaitu kompromi dan sedikit lobby yang juga masih berlandaskan paradigma feodal: Buruh hanya layak menerima yang minimum.

Paradigma Kelimpahan
Upaya menaikkan upah buruh dari minimum ke level yang juga masih sama yaitu minimum untuk tahun berikutnya, adalah persoalan yang sangat kompleks. Ini persoalanan jiwa dan harus menyentuh inti dari nurani manusia itu sendiri. Sebesar apapun keuntungan yang diperoleh pengusaha, jika ia masih memegang prinsip feodalistik, dorongan dari dasar hati untuk menaikkan upah buruh tidak akan pernah muncul dengan sendirinya. Persoalan menaikkan gaji buruh dari minimal ke maksimal harus terlebih dahulu merubah paradigma yang telah lama berakar dan berurat dalam fikiran sebagian besar pengusaha kita.  Kita membutuhkan pengusaha yang memiliki paradigma kelimpahan yang jiwanya terbebas dari belenggu feodal, yang mampu menerima prinsip kesetaraan bahwa siapa saja berhak mendapatkan yang maksimal, baik pengusaha maupun buruh. Kita segenap bangsa ini harus berupaya keras mendorong pengusaha kita merubah mindset dari berfikir minimalis bagi kemanusaiaan ini menjadi pribadi yang berfikir mega dan berkelimpahan. Kita mendorong budaya bangsa yang mampu menginternalisasikan bahwa tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan keuntungan adalah sarana bagi memperbaiki peradaban. Inilah inti persoalannya. Beberapa Negara maju telah berhasil menerapakan konsep ini, seperti beberapa negara Eropah, Korea Selatan dan Jepang yang puluhan tahun lalu juga masih belum berfikiran berkelimpahan.

Bertahan Hidup 15 – 20 Hari
Besaran upah minimum yang diputuskan setiap tahun secara real sesungguhnya tidak benar-benar berada pada garis minimal. Akan tetapi jika benar-benar disurvey tanpa ada intervensi dari pihak manapun, upah minimum itu ditetapkan jauh dari minimum. Artinya bisa saja 50 % atau 70 % dari kebutuhan real buruh/pekerja. Dengan kata lain upah minimum yang ditetapkan selalu tidak mampu memenuhi kebutuhan paling dasar buruh. Sehemat-hematnya buruh menggunakan upahnya, mereka hanya mampu bertahan hidup 15-20 hari setiap bulan dari upah yang mereka terima. Selebihnya berutang.

Bergantung Pada Kemurahan Hati
Buruh sesungguhnya tidak suka berdemonstrasi menuntut kenaikan upah setiap tahun. Bahkan buruh sama sekali tidak memiliki daya tekan untuk menuntut. Sebab menuntut itu membutuhkan  konsep, perencanaan, perhitungan yang cermat dan analisa yang matang. Buruh tidak memiliki kemampuan itu. Demonstrasi buruh sesungguhnya lebih mengarah kepada spontan, iklas dan berhasil hanya karena adanya kemurahan hati.

Buktinya karena tuntutan mereka selalu tidak pernah tercapai, buruh memilih mogok, sebuah tindakan tidak berdaya atau malah frustrasi. Yang mereka tuntut adalah kebutuhannya terpenuhi dengan gaji yang mereka terima. Sehingga persoalan mendasar bukan menaikkan upah buruh, tetapi menstabilkan harga kebutuhan pokok buruh. Menstabilkan harga pokok kebutuhan berarti mengontrol harga pasar pada batas kesanggupan/daya beli buruh. Lalu menyediakan kebutuhan seperti sekolah, kesehatan, perumahan, transportasi yang terjangkau.

Tragisnya bagi buruh, yang selalu terjadi di Negara ini, harga bahan pokok terlebih dahulu naik mendahului kenaikan upah minimum.  Sehingga kenaikan upah minimum selalu tidak mampu meningkatkan daya beli buruh, dan berarti pula kesejahteraan mereka tidak pernah membaik. Fenomena ini dapat dilukiskan bahwa buruh menerima kenaikan upah sedikit, tapi segera pengusaha juga menaikkan harga jual, sehingga kenaikan itu toh kembali juga kepada pengusaha.  Tidak pernah bertahan di kantong buruh.

Melompat Ke Gagasan Mega

Daripada terus-menerus berfokus pada paradigma lama yaitu  membahas Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh, lebih baik kita melompat naik kelas ke gagasan mega dan berkelimpahan. Yaitu membahas  gagasan Menaikkan Upah Maksimum Demi Kesejahteraan Buruh Indonesia. Perubahan konsep ini membutuhkan perubahan budaya, paradigma pengusaha kita dan dukungan politik yang kuat dari segenap elemen bangsa. Sehingga hati dan fikiran kita menjadi menganut faham bahwa tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan keuntungan adalah sebagai pertanda bahwa perusahaan dan apa yang kita kerjakan telah berjalan pada landasan yang benar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mensejahterakan rakyatnya, tidak perduli sebagai buruh, karyawan, pengawai atau apapun sebutannya. Dan pengusaha berjiwa dan memiliki visi besar adalah pengusaha yang mampu memberikan kehidupan yang baik bagi karyawannya, bukan hanya sekedar memberikan upah minimum untuk kehidupan minimum. Kita tinggalkan pola fikir feodalistik minimalis itu, kita tatap masa depan dan bangkit sebagai bangsa besar dengan para pengusaha besar sebagai lokomotif utamanya.

Paradigma Pendidikan Anak



MERUBAH PARADIGMA PENDIDIKAN ANAK


Paradigma pendidikan Indonesia secara umum masih terfokus pada upaya menaikkan angka/nilai ujian. Satu-satunya alat penentu keberhasilan setiap siswa diukur dari nilai yang ia peroleh dalam setiap ujian mata pelajaran dalam kurikulum sekolah. Itulah yang terjadi setiap tahun pelaksanaan Ujian Nasional  (UN ). Hal ini mengakibatkan para siswa tidak mendapatkan porsi memadai dalam hal mempelajari beberapa keterampilan paling mendasar yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari.

Padahal dalam kehidupan nyata yang kita hadapi hari-hari ini, kita menginginkan anak-anak tumbuh menjadi manusia yang bertanggungjawab, memiliki inisiatif, peduli, berperasaan, menghormati keberagaman, dan secara sadar menggunakan nalar untuk mengambil keputusan dalam kondisi-kondisi sulit daripada hanya sekedar memiliki nilai ujian 8 atau 9 untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia. Dalam pengertian lain, kita lebih menginginkan anak-anak yang memiliki karakter baik daripada hanya sekedar nilai tinggi dalam ujian mata pelajaran.

Dunia usaha juga demikian. Bisnis dewasa ini lebih mengakomodir pribadi yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai karakter, bersemangat, tidak mudah menyerah, kreatif, menghargai perbedaan dan beragam karakter lainnya yang tidak selalu terhubung dengan hanya sekedar angka-angka yang tersaji pada ijazah.

Menurut penelitian terbaru, dunia bisnis mengatakan inilah sifat yang diutamakan sebagai syarat dalam bekerja : Keterampilan berkomunikasi,  Kejujuran/Integritas, Kerjsama Tim, Keterampilan Perseorangan/Personal Sikill,  Motivasi Diri/Inisiatif, Etos Kerja Yang Kuat, Daya Analitis,  Penguasaan Tehnologi,  Fikiran Kreatif dan Proaktif.

Dunia usaha tidak lagi berfokus pada angka-angka ijazah yang tinggi, tetapi sudah mulai menjadikan karakter individu ( soft skill )  sebagai penentu dominan diluar kemampuan personal skill ( hard skill). Pengusaha juga demikian, mereka lebih nyaman mempekerjakan manajer yang memiliki integritas dan karakter baik ketimbang manajer bergelar MBA namun setiap saat bertanya “ Apa yang harus kulakukan, bagaimana saya melakukannya”?
 Pemimpin perusahaan besar selalu mengatakan “Karyawan yang tidak pandai berhitung dalam akutansi dapat kami latih menjadi ahli dalam tempo 2-3 bulan jika ia memiliki karakter yang baik, tetapi karyawan yang cacat karakter membutuhkan waktu jauh sangat lama untuk dapat merubahnya menjadi pribadi baik seperti yang diharapkan setiap perusahaan”.

Oleh karena itu di berbagai dunia maju, di setiap sekolah, mulai dari pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi, siswa dipersiapkan sejak dini melek tehnologi, lebih kreatif, mampu membuat keputusan yang lebih baik, dan mampu bekerja sama lebih baik dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Dan pada saat yang bersamaan siswa juga dididik memiliki budi pekerti yang baik, proaktif tapi sopan, tegas, dan disiplin.

Sebagai orang tua, dalam hati kecil kita mengharapkan anak-anak bertumbuh dengan nilai kejujuran, rasa hormat dan memiliki tanggungjawab sosial tanpa mengabaikan keterampilan dalam mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Mengapa demikian? Karena dunia dimana kita hidup terus berubah dan menuntut setiap orang mampu menjalin harmoni dengan orang lain. Lalu bagaimana dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini? Masihkah Ujian Nasional ( UN ) menjadi satu-satunya penentu keberhasilan siswa dalam proses belajar di sekolah?