Selasa, 22 Juli 2014

UNTUK DOKTER, DARI SUDUT PANDANG YANG BERBEDA



Pak Dokter/Bu Dokter, saya mengapresiasi solidaritas yang dokter hadiahkan buat dokter Ayu di Manado. Esprit of the corps itu manusiawi. Kendati demikian, kami juga memiliki pengalaman menarik dan memilukan dengan sikap dan perilaku dokter saat melayani kami sebagai pasien atau keluarga pasien. 

Dari bebarapa kali diskusi dengan teman-teman yang berprofesi dokter, kami menganalisa bahwa : 1. Kultur kita masih terlalu menempatkan dokter jauh di atas langit memelebihi profesi lain yang ada di dunia ini. 2. Akibat culture itu, para dokter di Indonesia memiliki paradigma dirinya lebih tinggi dari pasiennya. 3. Paradigma yang aneh ini, menurut saya, mengimplikasikan banyak hal, diantaranya : Dokter enggan berkomunikasi dengan prinsip kesetaraan dengan pasien atau keluarga pasien manakala membicarakan tentang penyakit pasien itu sendiri. 

Akibatnya pasien atau kelurga pasien juga terbawa suasana passif seolah pasrah dan berprinsip dokter serba tau, serba benar dan maha tau. Jadi mirip Tuhan. Ini berbahaya Bapak/Ibu Dokter, dan sedihnya sampe sekarang kita masih saja menemukan hubungan antara dokter dan pasien yang timpang seperti itu. Dari berbagai rumah sakit, baik swasta dan milik pemerintah yang saya pernah gunakan jasanya di Johor Bahru, Malaka dan Kuala Lumpur, Malaysia, hal seperti ini sudah tidak lagi kita temukan. Dokter di Malaysia lebih membumi dan lebih memiliki paradigma melayani pasien sama seperti Dealer Mobil Mercy melayani konsumennya ketimbang memposisikan kasta dirinya lebih tinggil dari pasien. 

Masih banyak hal sesungguhnya yang masih bisa kita diskusikan dan pelajari dari kasus dokter Ayu di Manado. Saya sendiri akibat dari kurangnya informasi dari dokter, terus merasa bersalah dengan kondisi dua putri kembar kami yang sampai saat ini menderita BLIND. Saya tidak menuduh itu akibat kesalahan dokter, tapi saya tidak bisa menutupi perasaan saya yang begitu kecewanya atas perilaku dokter dan minimnya informasi yang diberikan dokter kepada kami orang tuanya mengenai apa yang harus dan dapat kami lakukan atas kondisi putri kebar kami yang sekarat kala itu. Apa yang kami dapatkan, jauh dari sikap dan tindakan professional dari seorang dokter yang saya fahami. Akibat minimnya informasi yang kami terima, kami jadi kehilangan kesempatan untuk melakukan beberapa hal yang mungkin masih bisa kami lakukan untuk menyelamatkan mata putri kembar kami. Atau setidaknya, kendati pun tidak berhasil, tetapi jika kami telah berupaya semaksimal mungkin, minimal kami tidak merasa bersalah seumur hidup. 

Saya harus mengadu kemana pak dokter? Ini persoalan kita semua, kita semua mendorong dan menginginkan dokter Indonesia lebih manusiawi, lebih peduli dan lebih membumi. Kami mendukung gerakan membangkitkan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik bangsa Indonesia demi kehidupan kita yang lebih baik. Mudah-mudahan dokter memahami sudut pandang pasien pula dalam hal pelayanan medik di Negara tercinta ini. 

Salam hormat saya : Greos Saragih, ayah dari 2 putri kembar ( Agena Mercy Saragih & Merylin Mercy Saragih ) yang kini buta tak bisa melihat setitik cahaya pun sejak mereka lahir. Seorang ayah yan dulu pernah sangat kecewa atas sikap dan pelayanan dokter Indonesia. Tapi kini kami telah bangkit dan malah bersemangat membangkitkan orang lain yang membutuhkan. Selamat melayani bagi bangsa kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar