Rabu, 02 April 2014

KETOK PALU



Jangan sembarangan dengan kata "ketok palu". Sederhana memang, hurufnya hanya 9 karakter, dan hanya terdiri dari 2 kata. Tapi bagi sebagian masyarakat, kata itu mengandung sejuta makna dan harapan. Karena itu “ketok palu” ini sangat dinanti-nantikan oleh seseorang, sekelompok orang, komunitas, LSM atau organisasi tertentu, atau mungkin juga lembaga keagamaan. Ada kondisi yang sangat jauh berbeda, sebelum dan sedudah ketok palu dilaksanakan. Sebelum palu diketok, banyak yang merintih-rintih, layu, seperti kurang giji, lesu dan kurang bersemangat. Pada situasi sdeperti ini, mereka yang menunggu-nunggu ketok palu menghabiskan waktu lebih banyak di rumah bersenda gurau dengan keluarga.


Beda lagi jika sudah ketok palu. Setelah tok…tok..tok… dibunyikan, mereka yang menanti-nantikannya bak bunga kerontang terkena kemarau panjang, tiba-tiba mekar bersuka cita, bergegas, bersemangat, segar dan hilir mudik bergairah menuju balai Kota/Kabupaten/Kantor Provinsi. Lalu berkumpullah disana komunitas penunggu “ketok palu”. Semunya perpakaian necis, rapi, tersenyum ramah kepada siapa saja bagaikan pegawai kantoran membawa tas dan mengapit map berbagai macam warna yang di dalamnya berisikan PROPOSAL. Pada musim setelah "ketok palu" ini, anak-anak dan istri jadi kesepian. Mereka ditinggal ayah dan suami yang pergi rombongan menuju balai Kota/Kabupaten.  Tak jarang pula penunggu “ketok palu” berasal dari kampong yang jauh, terpaksa menghabiskan waktu berhari-hari di balai Kota/Kabupaten. Maklum, negeri kita ini adalah negeri kepulauan. Bahkan sudah menjadi kebiasaan tiap tahun mereka menginap di kota sebelum "cair" hasil "ketok palu".

PROPOSAL yang mereka bawa bermacam ragam. Mulai dari permohonan bantuan memelihara bebek, ayam potong, ayam petelur, ayam laga, kambing, membuat keramba, bantuan memeli buku, sepatu dan baju anak, menanam sayur, acara syukuran, acara khitanan, membangun rumah ibadah, plesiran, sewa kantor, bangun parit, poskamling, bedah rumah dan sebagainya.

Tiba-tiba, rasa diri tak berdaya, lemah dan mengira diri paling pantas dibantu merasuk begitu dalam ke dalam sanubari mereka yang menanti-nantikan "ketok palu". Mereka tiba-tiba mendefenisikan diri semuanya patut dibantu, ketimbang individu yang dapat mandiri, bekerja keras, pantang menyerah, ulet dan tidak pernah lelah mengupayakan hasil untuk berkembang di masa depan. Mereka lebih suka memperolah sesuatu tanpa keringat dan kerja keras.

Itulah mentalitas penunggu "ketok palu". Mentalitas sebagian rakyat kita. Namun mereka tidak bertepuk sebelah tangan. Ada semacam kolaborasi cantik antara penunggu "ketok palu" dengan aparatur pemerintah sebagai "pengetok palu". Mereka sama-sama menikmati hasil  palu diketok. Lalu itu menjadi kebiasaan yang wajar-wajar saja, pantas dan mereka berfikir memang seharusnya begitu.

Kata-kata "ketok palu" inilah yang diungkapkan teman saya dengan raut wajah prihatin dalam diskusi semalam. Ia bekerja di salah satu kabupaten di negeri ini sebagai anggota TNI. Sepertinya teman saya itu protes keras tak rela bangsa ini menjadi bangsa yang hanya pandai menjulurkan telapak tangan meminta dan meminta. Saya hanya tertegun, tidak banyak menjawab. Saya jadi teringat kata-kata Prof Burhanuddin Bungin dalam kuliah MSDM pada kelas Pascasarjana tahun 2011 lalu tentang teori KEMISKINAN ABSOLUT DAN KEMISKINAN STRUKTURAL. Seseorang, atau sekelompok orang, bahkan melebar sampe kepada kelompok masyarakat, bisa saja mendefenisikan diri dan kelompoknya sebagai oaring paling miskin sedunia, sehingga hobby meminta baginya adalah seperti setara dengan kewajiban dan ibadah. Ia atau mereka tidak mampu keluar dari jerat kemiskinan itu. Yang demikian itu disebut miskin absolut. Sedangkan miskin struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh birokrasi yang abai atas tanggungjawabnya memajukan masyarakat dalam segala aspek kehidupan, lalu memolesnya dengan menyediakan anggaran tidak tepat sasaran, bantuan tidak produktif dan tidak efektif sebagai lipstick yang sebetulnya dalam jangka panjang berdampak buruk terhadap kebiasaan masyarakat. Yaitu kebiasaan suka meminta ketimbang bekerja keras mengupayakan kemandirian. Yang parah adalah jika KEMISKINAN ABSOLUT bersatu padu dengan MISKIN STRUKTURAL, maka lengkaplah sudah praktek itu berhasil sukses membentuk karakter warga masyarakat, Bangsa Indonesia menjadi bangsa pengemis lahir dan batin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar