Rabu, 02 April 2014

Memeras Calong Anggota Legislatif



“MEMEMERAS” CALON ANGGOATA LEGISLATIF
Menarik mengamati dinamika perilaku politik masyarakat akar rumput menjelang Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2014 mendatang. Tak jarang kita menemukan individu atau sekelompok masyarakat seperti ingin serentak menumpahkan seluruh keluh kesah dan "memohonkan" keperluannya, mulai  dari keperluan kecil-kecilan, biasa-biasa, sampai kepada kebutuhan di luar batas kewajaran kepada mereka yang MASIH CALON ANGGOTA LEGISLATIF belum jadi ANGGOTA LEGISLATIF.
Ini sesuatu yang layak dicermati, karena idealnya keluh kesah, permintaan dan permohonan atau apa pun bentuknya, seharusnya ditujukan kepada mereka yang sedang menjabat sebagai ANGGOTA LEGISLATIF, bukan kepada mereka yang BERSTATUS CALON ANGGOTA LEGISLATIF. Kemudian mereka yang sedang menjabat ANGGOTA LEGISLATIF sesuai dengan wewenangnya menyalurkan permintaan dan permohonan itu melalui struktur pemerintahan. Akal sehat kita dengan mudah memahamai bahwa anggota dewan yang masih aktif sekalipun tidak mungkin dan tidak sanggup memenuhi berbagai kebutuhan dan permintaan yang demikian itu dari koceknya sendiri, kecuali ia korupsi.
Sebagai pemilih, jika masyarakat merasa pantas, wajar, dan tetap jor-joran dengan semangat pantang mengenal lelah serta bertubi-tubi mengajukan permohonan dan permintaan kepada CALON ANGGOTA LEGISLATIF, toh mereka secara yuridis formal belum dibenarkan memenuhi permintaan dan permohonan masyarakat. Kalaupun ada yang memberi karena terpaksa atau setengah terpaksa, kelihatan iklas di luar tapi sebetulnya sakit di dalam hati, meski semua itu dibungkus rapi dengan berbagai cara, tetap masuk dalam kategori politik transaksional, atau dalam derajat yang lebih tinggi dapat masuk dalam ranah money politik. Apakah kemudian ketahuan atau tidak ketahuan, itu persoalan lain.
Selebihnya, adalah tidak santun dan tidak pula bijak jika praktek “memperkosa” dan menguras mereka yang berpredikat MASIH CALON ANGGOTA LEGISLATIF terus dengan permohonan berbagai macam dari masyarakat kampung A dan kampung B, dari Komunitas C dan Komunitas D. Dalam pengertian ini, jika kita lebih jauh mengamati di tataran akar rumput, sesungguhnya masyarakat kita ternyata cukup kreatif dan proaktif mendorong para CALON ANGGOTA LEGISLATIF menjadi "terpaksa" melakukan tindakan politik transaksional. Benar bahwa praktek itu kelihatan seperti ikhlas di luar, namun sesungguhnya tidak demikian di dalam hati.
Akibatnya bagi CALON ANGGOTA LEGISLATIF yang berhasil duduk menjadi ANGGOTA LEGISLATIF, kelak terpaksa mengabaikan kepentingan  masyarakat pemilihnya, dan mendahulukan prinsip balik modal untuk mengembalikan segala apa yang sudah ia keluarkan untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi permohonan dan permintaan masyarakat semasa ia menjadi CALON ANGGOTA LEGISLATIF. Lalu masyarakat, seperti di masa pemilu yang lalu, dan dampaknya masih terasa sampai saat ini, terus dirundung rasa kecewa bagaikan mengharap pada yang tiada.
Pada belahan lain, dan ini jumlahnya lebih banyak, mantan CALON ANGGOTA LEGISLATIF yang tidak berhasil duduk, istri, suami, anak-anaknya bisa saja teraniaya dirundung kesedihan dan dibelit utang yang jumlahnya cukup mencengangkan. Yang menderita itu bisa saja saudara kita, tetangga kita, atau sahabat kita dan pasti se bangsa dan se tanah air dengan kita, yang, dalam hal ini, pasti kita tidak rela menjadi alasan atau penyebab penderitaan mereka.
Oleh karena itu, praktek mengeluh, meminta, memohon kepada CALON ANGGOTA LEGISLATIF dalam bentuk ‘straight” maupun “soft” bagaimanapun patut kita sadari sebagai tindakan amoral yang pada akhirnya di kemudian hari akan menghancurkan diri kita sendiri, menghancurkan peradaban demokrasi kita dan menghancurkan negara kita dalam kubangan praktik politik kotor.
Sebagai masyarakat yang berbudi luhur, sudah sepatutnya kita menghentikan segala permohonan dan permintaan dalam bentuk apapun kepada mereka para CALON ANGGOTA LEGISLATIF, melainkan mendukung mereka yang memiliki integritas dan kapasitas untuk maju mewakili kita sebagai warga masyarakat. Kemudian, kita tuntut mereka yang terpilih menjadi ANGGOTA DEWAN itu untuk memperjuangkan kepentingan bersama.  Ibarat menanam pepaya, kita pilih bibit yang unggul, kita tanam, kita jaga dan pelihara dengan baik, lalu setelah berbuah kita nikmati hasilnya bersama-sama.
Adalah tidak pantas bila kita ingin memetik buahnya dengan sistem ijon, sementara pohon belum masanya menghasilkan buah. Orang yang sabar menantikan buah sesuai dengan masanya, akan mendapatkan buah yang rasanya manis, tetapi mereka yang terburu-buru menebang pohon sebelum buahnya matang, akan mendapatkan buah yang rasanya asam bahkan bisa-bisa mendapatkan buah busuk.
Anggota Legislatif yang jujur, bijaksana dan memperdulikan rakyat pemilihnya,  lahir dari pemilih yang jujur dan bijaksana.

Kita mengharapkan wakil rakyat yang jujur, bijaksana dan peduli dengan rakyat. Maka ada harga yang harus kita bayar, yaitu : Sebagai pemilih kita terlebih dahulu harus jujur dan bijaksana. Jujur dalam arti memilih seorang CALON ANGGOTA LEGISLATIF dengan landasan objektif. Kita memilih mereka yang memiliki integritas, karakter baik dan memiliki kapabilitas yang dapat kita percayai. Kita memberikan suara di bilik TPS pada tanggal 9 April 2014 nanti bukan atas dasar pertimbangan subjektif, misalnya karena pertimbangan keluarga, tetangga, satu kampung, satu suku dan lain sebagainya, sementara mereka yang kita pilih tidak memiliki integritas.

Bijaksana berarti bahwa kita memilih CALON ANGGOTA LEGISLATIF berdasarkan hati nurani yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan dan kebaikan, bukan dipengaruhi oleh besaran pemberian yang pernah kita terima dari CALON ANGGOTA LEGISLATIF.

Kiranya semakin jelaslah bahwa, bila ingin menghantarkan orang yang jujur, baik dan bijaksana serta peduli, ke lembaga legislatif, maka syarat adalah : Kita sebagai pemilih harus terlebih dahulu jujur dan bijak. Dengan kata lain, jangan menjolok buah pepaya sebelum ia matang. Tidak ada jalan lain. Kita mesti berani mengatakan tidak, sekalipun ada CALON ANGGOTA LEGISLATIF yang gencar menawarkan sesuatu menjelang pemilu 9 April 2014. Kita tidak mungkin menahan mereka memberi sesuatu, tapi kita memiliki kuasa penuh mengambil keputusan tidak menerima tawaran itu. Lalu kita akan melihat betapa indahnya demokrasi Indonesia tanpa praktik politik kotor dan anak cucu kita pun menikmati buah yang manis di kemudian hari atas apa yang kita tanamkan hari ini.

Sehingga cara kita memilih pada tanggal 9 April 2014 nanti, jika itu dilakukan atas dasar hati nurani berlandaskan nilai-nilai etika dan moral, dapat menjadi momentum spiritual dan religius yang pantas kita persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sekaligus meneladankan kebajikan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa ini.   Akhirnya, ingin kita tegaskan bahwa Anggota Legislatif yang jujur, bijaksana dan memperdulikan rakyat pemilihnya,  lahir dari pemilih yang jujur dan bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar