Rabu, 02 April 2014

Akil Mochtar Dalam Pusaran Teori Ekonomi Klasik

TEORI EKONOMI KLASIK VS KASUS SUAP KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI  

Penangkapan Ketua MK Akil Mochtar menarik disimak dari sudut pandang teori ekonomi klasik.  Saya terfikir menghubungkannya dengan teori utilitas ( nilai guna/kepuasan). Akil Mochtar lulusan Doktor Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung, pernah menjabat posisi penting di Negara ini, sebagai anggota DPR RI periode 1999-2004, sebelumnya juga sebagai pengacara. Tentu masuk akal sosok Akil Mochtar bukan seorang yang miskin-miskin sangat alias hakim kere.
Karena pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dan juga pernah sebagai pengacara, menurut akal sehat, Akil Mochtar mestinya hidupa tidak melarat-melarat amat.
Hal itu sejalan dengan fikiran bahwa, andaikan uang suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih tidak diterima Akil Mochtar atau suap dari pihak mana pun, toh hidupnya tidak akan melarat. Sebaliknya, andaikan uang suap itu diterima Akil Mochtar dan tidak pernah tertangkap KPK, toh uang yang Rp. 2-3 Milyar tidak berpengaruh banyak kepada kondisi finansial seorang Akil Mochtar.
Berbeda jika dibandingkan dengan warga miskin penerima bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), misalnya menerima uang tunai Rp. 2 Milyar dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, entah andaikan karena berhasil menjadi penasehat spiritualnya, maka uang sebanyak itu akan berpengaruh signifikan.  Maklum, sampai saat ini warga miskin seperti kami belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Maka masuk akal kami sangat berhasrat memiliki uang sebanyak itu, tapi tentu tidak dengan cara korup.
Lantas jika kita kaitkan dengan teori utilitas, seseorang katakanlah si A yang dalam kondisi sangat haus/kekeringan di bawah terik panas mata hari pasti sangat membutuhkan segelas teh manis dingin. Teguk demi teguk air melalui kerongkongannya pada gelas pertama itu akan sangat nikmat memenuhi rasa dahaganya. Jika disuguhi teh manis dingin gelas kedua pun si A masih mampu menikmatinya. Tetapi akan berbeda pada gelas teh manis dingin ke tiga, ke empat  dan seterusnya. Misalkan A diberikan lagi teh manis dingin gelas  yang ke 5, ia mungkin menolak. Bukan karena tidak sanggup meminum teh manis gelas kelima itu, akan tetapi hasrat dan dahaganya sudah terpenuhi, ia tidak lagi membutuhkan. Sehingga logis ia menolak.
Menurut teori utilitas, derajat kenikmatan gelas ke empat pasti jauh lebih tidak nikmat dibandingkan gelas ke 3, ke 2 dan gelas yang pertama. Atau sebaliknya, derajat kenikmatan gelas pertama jauh lebih tinggi daripada kenikmatan yang dapat dirasakan dari gelas ke 2, ke 3 , ke 4 dan sterusnya.
Mengikuti alur fikiran itu, lantas bagaimana gerangan kondisi batin dan fikiran seorang Hakim Konstitusi Akil Mochtar yang masih tetap juga tertarik ( masih tetap dahaga ) dengan uang suap pemberian Bupati Gunug Mas Hambit Bintih? Padahal sebagai seorang Doktor Ilmu Hukum dan sebagai salah satu pimpinan lembaga penegak hukum vital di Negara ini, ia sangat faham dan sadar betul resiko yang mungkin timbul dari praktik suap itu. Sedemikian kerekah seorang Akil Mochtar? Begitu dahaganya kah ia dengan rupiah sehingga mengambil resiko mengorbankan reputasinya sebagai seorang Ketua Mahkamah Konsitutsi? Begitu rendahkah moral dan intelektualitasnya sehingga ia sanggup mengambil resiko mengorbankan martabat bangsa ini? Tidak cukupkah  fasilitas dan renumerasi yang diberikan Negara ini kepada seorang Ketua Mahkamah Konstitusi? Sejarah akan mencatat Akil Mochtar, sebagai anak bangsa yang mempermalukan diri dan bangsanya sendiri bukan hanya di Negara ini, tapi juga di mata dunia internasional.
JIka kita kembali ke teori utilitas di atas, dengan tetap mengedepankan prinsip praduga tak bersalah, suap yang diterima Akil Mochtar patut kita fahami sebagai “teh manis dingin” gelas ke sekian. Bukan gelas pertama ataupun gelas kedua. Bisa jadi gelas ke 5, ke 6 atau gelas ke 7 dan seterusnya.
Menurut akal sehat ia tidak sedang dalam kondisi kering kerontang, kere dan sangat miskin dalam arti seluas-luasnya. Sangat masuk akal pula bahwa ia masih memiliki stok “teh manis dingin” bahkan mungkin jumlahnya jauh lebih banyak  dari suap yang diberikan Bupati Gunung Mas Hambit Bintih itu. Baik yang ia peroleh dari hasil kerja kerasnya selama ini atau pun,  juga lagi-lagi patut kita duga, dari praktek korup berbagai kasus yang ia pernah tangani selama menjadi Hakim/Ketua Mahkamah Konstitusi sebelum ia ditangkap tangan oleh KPK. Tetapi mengapa Akil Mochtar tetap tak bisa mengendalikan “rasa dahaganya” itu?  Point ini menjadi menarik. Mengapa orang yang “dahaganya” sudah terpenuhi masih tetap juga “kehausan” tiada tara? Kiranya tak satupun dari kita mengetahui jalan fikiran Akil Mochtar. Hanya ia yang persis tau.
Akan tetapi, dari kejadian tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, rasanya kita tidak dapat menghindari proses kimia spontan yang begitu saja muncul dalam otak  kita yang mengarah kepada perasaan curiga bekepanjangan. Misalnya : Inikah kali pertama Ketua Mahkamah Konsitusi Akil Mochtar menerima suap? Sudah berapa banyak jumlah rupiah diterima Akil Mochtar dari berbagai kasus yang ia pernah tangani selama ini sebelum ia tertangkap KPK. Siapa saja (calon) Kepala Daerah yang pernah menjadi  “pasiennya”? Apakah ia bekerja sendiri? Atau adakah pihak lain di sebelah ruangannya yang turut serta ikut terlibat? Walau seribu pertanyaan di dalam benak, kita tak patut menduga-duga. Hanya Akil Mochtar yang tau. Kita hanya berharap semoga PPATK proaktif segera menelusuri aliran dana rekening Akil Mochtar, agar rasa curiga kita dapat pula segera berobah menjadi fakta sebenarnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar