TEORI EKONOMI KLASIK VS
KASUS SUAP KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI
Penangkapan Ketua MK Akil Mochtar menarik disimak dari sudut
pandang teori ekonomi klasik. Saya
terfikir menghubungkannya dengan teori utilitas ( nilai guna/kepuasan). Akil
Mochtar lulusan Doktor Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung, pernah
menjabat posisi penting di Negara ini, sebagai anggota DPR RI periode
1999-2004, sebelumnya juga sebagai pengacara. Tentu masuk akal sosok Akil Mochtar
bukan seorang yang miskin-miskin sangat alias hakim kere.
Karena pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dan juga pernah
sebagai pengacara, menurut akal sehat, Akil Mochtar mestinya hidupa tidak
melarat-melarat amat.
Hal itu sejalan dengan fikiran bahwa, andaikan uang suap dari
Bupati Gunung Mas Hambit Bintih tidak diterima Akil Mochtar atau suap dari
pihak mana pun, toh hidupnya tidak akan melarat. Sebaliknya, andaikan uang suap
itu diterima Akil Mochtar dan tidak pernah tertangkap KPK, toh uang yang Rp.
2-3 Milyar tidak berpengaruh banyak kepada kondisi finansial seorang Akil
Mochtar.
Berbeda jika dibandingkan dengan warga miskin penerima
bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), misalnya menerima uang tunai Rp.
2 Milyar dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, entah andaikan karena berhasil
menjadi penasehat spiritualnya, maka uang sebanyak itu akan berpengaruh
signifikan. Maklum, sampai saat ini warga
miskin seperti kami belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Maka masuk akal kami
sangat berhasrat memiliki uang sebanyak itu, tapi tentu tidak dengan cara
korup.
Lantas jika kita kaitkan dengan teori utilitas, seseorang
katakanlah si A yang dalam kondisi sangat haus/kekeringan di bawah terik panas mata
hari pasti sangat membutuhkan segelas teh manis dingin. Teguk demi teguk air
melalui kerongkongannya pada gelas pertama itu akan sangat nikmat memenuhi rasa
dahaganya. Jika disuguhi teh manis dingin gelas kedua pun si A masih mampu
menikmatinya. Tetapi akan berbeda pada gelas teh manis dingin ke tiga, ke
empat dan seterusnya. Misalkan A
diberikan lagi teh manis dingin gelas
yang ke 5, ia mungkin menolak. Bukan karena tidak sanggup meminum teh
manis gelas kelima itu, akan tetapi hasrat dan dahaganya sudah terpenuhi, ia
tidak lagi membutuhkan. Sehingga logis ia menolak.
Menurut teori utilitas, derajat kenikmatan gelas ke empat
pasti jauh lebih tidak nikmat dibandingkan gelas ke 3, ke 2 dan gelas yang
pertama. Atau sebaliknya, derajat kenikmatan gelas pertama jauh lebih tinggi
daripada kenikmatan yang dapat dirasakan dari gelas ke 2, ke 3 , ke 4 dan
sterusnya.
Mengikuti alur fikiran itu, lantas bagaimana gerangan kondisi
batin dan fikiran seorang Hakim Konstitusi Akil Mochtar yang masih tetap juga
tertarik ( masih tetap dahaga ) dengan uang suap pemberian Bupati Gunug Mas
Hambit Bintih? Padahal sebagai seorang Doktor Ilmu Hukum dan sebagai salah satu
pimpinan lembaga penegak hukum vital di Negara ini, ia sangat faham dan sadar
betul resiko yang mungkin timbul dari praktik suap itu. Sedemikian kerekah seorang
Akil Mochtar? Begitu dahaganya kah ia dengan rupiah sehingga mengambil resiko
mengorbankan reputasinya sebagai seorang Ketua Mahkamah Konsitutsi? Begitu
rendahkah moral dan intelektualitasnya sehingga ia sanggup mengambil resiko
mengorbankan martabat bangsa ini? Tidak cukupkah fasilitas dan renumerasi yang diberikan
Negara ini kepada seorang Ketua Mahkamah Konstitusi? Sejarah akan mencatat Akil
Mochtar, sebagai anak bangsa yang mempermalukan diri dan bangsanya sendiri
bukan hanya di Negara ini, tapi juga di mata dunia internasional.
JIka kita kembali ke teori utilitas di atas, dengan tetap
mengedepankan prinsip praduga tak bersalah, suap yang diterima Akil Mochtar
patut kita fahami sebagai “teh manis dingin” gelas ke sekian. Bukan gelas
pertama ataupun gelas kedua. Bisa jadi gelas ke 5, ke 6 atau gelas ke 7 dan
seterusnya.
Menurut akal sehat ia tidak sedang dalam kondisi kering
kerontang, kere dan sangat miskin dalam arti seluas-luasnya. Sangat masuk akal pula
bahwa ia masih memiliki stok “teh manis dingin” bahkan mungkin jumlahnya jauh
lebih banyak dari suap yang diberikan
Bupati Gunung Mas Hambit Bintih itu. Baik yang ia peroleh dari hasil kerja
kerasnya selama ini atau pun, juga
lagi-lagi patut kita duga, dari praktek korup berbagai kasus yang ia pernah tangani
selama menjadi Hakim/Ketua Mahkamah Konstitusi sebelum ia ditangkap tangan oleh
KPK. Tetapi mengapa Akil Mochtar tetap tak bisa mengendalikan “rasa dahaganya”
itu? Point ini menjadi menarik. Mengapa
orang yang “dahaganya” sudah terpenuhi masih tetap juga “kehausan” tiada tara?
Kiranya tak satupun dari kita mengetahui jalan fikiran Akil Mochtar. Hanya ia
yang persis tau.
Akan tetapi, dari kejadian tertangkapnya Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar, rasanya kita tidak dapat menghindari proses kimia
spontan yang begitu saja muncul dalam otak kita yang mengarah kepada perasaan curiga
bekepanjangan. Misalnya : Inikah kali pertama Ketua Mahkamah Konsitusi Akil
Mochtar menerima suap? Sudah berapa banyak jumlah rupiah diterima Akil Mochtar
dari berbagai kasus yang ia pernah tangani selama ini sebelum ia tertangkap
KPK. Siapa saja (calon) Kepala Daerah yang pernah menjadi “pasiennya”? Apakah ia bekerja sendiri? Atau
adakah pihak lain di sebelah ruangannya yang turut serta ikut terlibat? Walau
seribu pertanyaan di dalam benak, kita tak patut menduga-duga. Hanya Akil
Mochtar yang tau. Kita hanya berharap semoga PPATK proaktif segera menelusuri
aliran dana rekening Akil Mochtar, agar rasa curiga kita dapat pula segera
berobah menjadi fakta sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar