Rabu, 02 April 2014

Kesejahteraan Buruh



SEBUAH PERENUNGAN UNTUK
UPAH MINIMUM DAN KESEJAHTERAAN BURUH



Setiap menjelang akhir tahun, topik pembahasan mengenai upah minimum dan kesejahteraan buruh selalu menghisap energi bangsa ini. Ribuan buruh tiap tahun menggelar demonstrasi turun kejalan menuntut kenaikan upah. Demonstrasi ini telah mengorbankan banyak hal :  Waktu, dana, tenaga, produktifitas bahkan kadang mengorbankan nyawa. Setiap tahun pula kita seolah dibawa pada jalur berfikir yang sulit. Sulit sebab kata “minimum” tidak mungkin melahirkan kondisi “sejahtera”. Dua kata itu tidak sepadan. Keduanya adalah kata yang sejatinya bertolak belakang. Akal sehat mengatakan bahwa kesejahteraan buruh tidak mungkin dicapai dengan upah minimum. Lalu sebetulnya adalah juga kesulitan membahas upah minimum dalam hubungannya dengan kesejahteraan buruh. Sebab yang minimal pasti hanya menghasilkan kemiskinan, tidak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan buruh, karyawan, pegawai atau apapun  sebutannya bagi setiap orang yang menerima upah.
Tanpa bermaksud mengubah judul pembahasan kita menjadi : Upah Maksimum dan Kesejahteraan Buruh, berikut ini penulis menawarkan gagasan sebagai berikut :  
Dilarang Menjadi Buruh
Pembahasan Upah Minimum tiap tahun selalu diawali dengan mindset ( cara berfikir ) tidak berkelimpahan dari para pengusaha Indonesia. Mindset ini menganut faham bahwa di dalam alam bawah sadar pengusaha Indonesia telah terlebih dahulu tertanam pemikiran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimum. Sebaliknya hanya pengusaha yang berhak menerima yang maksimum. Dan itu, bagi pengusaha adalah sah dan kodrati. Mashabnya adalah : Jika ingin mendapatkan yang maksimum, dilarang menjadi buruh. Inilah salah satu warisan feodal yang masih berakar di negeri ini sampai sekarang. Maka tidak heran jika budaya perusahaan kita secara umum di Indonesia kebanyakan masih mengedepankan prinsip : Tujuan akhir perusahaan adalah keuntungan, bukan kebaikan bagi manusia itu sendiri.
Pembahasan kenaikan upah buruh setiap akhir tahun, sesungguhnya bukan sekedar persoalan angka-angka. Inti dari demonstrasi buruh di berbagai daerah di Indonesia setiap tahun  menuntut upah yang lebih layak merupakan simbol perlawanan buruh atas fikiran yang feodal itu, yakni : Buruh hanya layak menerima minimal. Pada sisi lain para pengusaha kukuh mempertaruhkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimal. Membahas dua kepentingan ini bagaikan mempertemukan kutub Utara dan kutub Selatan.
Sedangkan pemerintah kelihatan tidak berdaya ditengah-tengah pusaran dua kutub itu. Berbagai regulasi dan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal  menentukan menaikkan upah minimum, kehidupan layak dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penentuan upah itu sendiri, sesungguhnya bukanlah hal mendasar dan bukan pula instrument yang benar-benar dapat diandalkan sebagai pedoman penentuan kenaikan upah. Akhirnya, kompromilah yang dijadikan dasar penentuan keputusan. Yaitu kompromi dan sedikit lobby yang juga masih berlandaskan paradigma feodal: Buruh hanya layak menerima yang minimum.

Paradigma Kelimpahan
Upaya menaikkan upah buruh dari minimum ke level yang juga masih sama yaitu minimum untuk tahun berikutnya, adalah persoalan yang sangat kompleks. Ini persoalanan jiwa dan harus menyentuh inti dari nurani manusia itu sendiri. Sebesar apapun keuntungan yang diperoleh pengusaha, jika ia masih memegang prinsip feodalistik, dorongan dari dasar hati untuk menaikkan upah buruh tidak akan pernah muncul dengan sendirinya. Persoalan menaikkan gaji buruh dari minimal ke maksimal harus terlebih dahulu merubah paradigma yang telah lama berakar dan berurat dalam fikiran sebagian besar pengusaha kita.  Kita membutuhkan pengusaha yang memiliki paradigma kelimpahan yang jiwanya terbebas dari belenggu feodal, yang mampu menerima prinsip kesetaraan bahwa siapa saja berhak mendapatkan yang maksimal, baik pengusaha maupun buruh. Kita segenap bangsa ini harus berupaya keras mendorong pengusaha kita merubah mindset dari berfikir minimalis bagi kemanusaiaan ini menjadi pribadi yang berfikir mega dan berkelimpahan. Kita mendorong budaya bangsa yang mampu menginternalisasikan bahwa tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan keuntungan adalah sarana bagi memperbaiki peradaban. Inilah inti persoalannya. Beberapa Negara maju telah berhasil menerapakan konsep ini, seperti beberapa negara Eropah, Korea Selatan dan Jepang yang puluhan tahun lalu juga masih belum berfikiran berkelimpahan.

Bertahan Hidup 15 – 20 Hari
Besaran upah minimum yang diputuskan setiap tahun secara real sesungguhnya tidak benar-benar berada pada garis minimal. Akan tetapi jika benar-benar disurvey tanpa ada intervensi dari pihak manapun, upah minimum itu ditetapkan jauh dari minimum. Artinya bisa saja 50 % atau 70 % dari kebutuhan real buruh/pekerja. Dengan kata lain upah minimum yang ditetapkan selalu tidak mampu memenuhi kebutuhan paling dasar buruh. Sehemat-hematnya buruh menggunakan upahnya, mereka hanya mampu bertahan hidup 15-20 hari setiap bulan dari upah yang mereka terima. Selebihnya berutang.

Bergantung Pada Kemurahan Hati
Buruh sesungguhnya tidak suka berdemonstrasi menuntut kenaikan upah setiap tahun. Bahkan buruh sama sekali tidak memiliki daya tekan untuk menuntut. Sebab menuntut itu membutuhkan  konsep, perencanaan, perhitungan yang cermat dan analisa yang matang. Buruh tidak memiliki kemampuan itu. Demonstrasi buruh sesungguhnya lebih mengarah kepada spontan, iklas dan berhasil hanya karena adanya kemurahan hati.

Buktinya karena tuntutan mereka selalu tidak pernah tercapai, buruh memilih mogok, sebuah tindakan tidak berdaya atau malah frustrasi. Yang mereka tuntut adalah kebutuhannya terpenuhi dengan gaji yang mereka terima. Sehingga persoalan mendasar bukan menaikkan upah buruh, tetapi menstabilkan harga kebutuhan pokok buruh. Menstabilkan harga pokok kebutuhan berarti mengontrol harga pasar pada batas kesanggupan/daya beli buruh. Lalu menyediakan kebutuhan seperti sekolah, kesehatan, perumahan, transportasi yang terjangkau.

Tragisnya bagi buruh, yang selalu terjadi di Negara ini, harga bahan pokok terlebih dahulu naik mendahului kenaikan upah minimum.  Sehingga kenaikan upah minimum selalu tidak mampu meningkatkan daya beli buruh, dan berarti pula kesejahteraan mereka tidak pernah membaik. Fenomena ini dapat dilukiskan bahwa buruh menerima kenaikan upah sedikit, tapi segera pengusaha juga menaikkan harga jual, sehingga kenaikan itu toh kembali juga kepada pengusaha.  Tidak pernah bertahan di kantong buruh.

Melompat Ke Gagasan Mega

Daripada terus-menerus berfokus pada paradigma lama yaitu  membahas Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh, lebih baik kita melompat naik kelas ke gagasan mega dan berkelimpahan. Yaitu membahas  gagasan Menaikkan Upah Maksimum Demi Kesejahteraan Buruh Indonesia. Perubahan konsep ini membutuhkan perubahan budaya, paradigma pengusaha kita dan dukungan politik yang kuat dari segenap elemen bangsa. Sehingga hati dan fikiran kita menjadi menganut faham bahwa tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan keuntungan adalah sebagai pertanda bahwa perusahaan dan apa yang kita kerjakan telah berjalan pada landasan yang benar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mensejahterakan rakyatnya, tidak perduli sebagai buruh, karyawan, pengawai atau apapun sebutannya. Dan pengusaha berjiwa dan memiliki visi besar adalah pengusaha yang mampu memberikan kehidupan yang baik bagi karyawannya, bukan hanya sekedar memberikan upah minimum untuk kehidupan minimum. Kita tinggalkan pola fikir feodalistik minimalis itu, kita tatap masa depan dan bangkit sebagai bangsa besar dengan para pengusaha besar sebagai lokomotif utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar