SEBUAH PERENUNGAN UNTUK
UPAH MINIMUM DAN KESEJAHTERAAN BURUH
Setiap menjelang akhir tahun,
topik pembahasan mengenai upah minimum dan kesejahteraan buruh selalu menghisap
energi bangsa ini. Ribuan buruh tiap tahun menggelar demonstrasi turun kejalan menuntut
kenaikan upah. Demonstrasi ini telah mengorbankan banyak hal : Waktu, dana, tenaga, produktifitas bahkan
kadang mengorbankan nyawa. Setiap tahun pula kita seolah dibawa pada jalur
berfikir yang sulit. Sulit sebab kata “minimum” tidak mungkin melahirkan
kondisi “sejahtera”. Dua kata itu tidak sepadan. Keduanya adalah kata yang
sejatinya bertolak belakang. Akal sehat mengatakan bahwa kesejahteraan buruh
tidak mungkin dicapai dengan upah minimum. Lalu sebetulnya adalah juga kesulitan
membahas upah minimum dalam hubungannya dengan kesejahteraan buruh. Sebab yang
minimal pasti hanya menghasilkan kemiskinan, tidak pernah mampu meningkatkan
kesejahteraan buruh, karyawan, pegawai atau apapun sebutannya bagi setiap orang yang menerima
upah.
Tanpa bermaksud mengubah judul
pembahasan kita menjadi : Upah Maksimum
dan Kesejahteraan Buruh, berikut ini penulis menawarkan gagasan sebagai
berikut :
Dilarang Menjadi Buruh
Pembahasan Upah Minimum tiap tahun selalu diawali dengan mindset (
cara berfikir ) tidak berkelimpahan dari para pengusaha Indonesia. Mindset ini
menganut faham bahwa di dalam alam bawah sadar pengusaha Indonesia telah
terlebih dahulu tertanam pemikiran bahwa buruh hanya pantas menerima yang
minimum. Sebaliknya hanya pengusaha yang berhak menerima yang maksimum. Dan
itu, bagi pengusaha adalah sah dan kodrati. Mashabnya adalah : Jika ingin
mendapatkan yang maksimum, dilarang menjadi buruh. Inilah salah satu warisan
feodal yang masih berakar di negeri ini sampai sekarang. Maka tidak heran jika budaya
perusahaan kita secara umum di Indonesia kebanyakan masih mengedepankan prinsip
: Tujuan akhir perusahaan adalah keuntungan, bukan kebaikan bagi manusia itu
sendiri.
Pembahasan kenaikan upah buruh
setiap akhir tahun, sesungguhnya bukan sekedar persoalan angka-angka. Inti dari
demonstrasi buruh di berbagai daerah di Indonesia setiap tahun menuntut upah yang lebih layak merupakan simbol
perlawanan buruh atas fikiran yang feodal itu, yakni : Buruh hanya layak
menerima minimal. Pada sisi lain para pengusaha kukuh mempertaruhkan apa yang
mereka yakini sebagai kebenaran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimal.
Membahas dua kepentingan ini bagaikan mempertemukan kutub Utara dan kutub Selatan.
Sedangkan pemerintah kelihatan
tidak berdaya ditengah-tengah pusaran dua kutub itu. Berbagai regulasi dan
ketentuan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal
menentukan menaikkan upah minimum, kehidupan layak dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan penentuan upah itu sendiri, sesungguhnya bukanlah hal
mendasar dan bukan pula instrument yang benar-benar dapat diandalkan sebagai
pedoman penentuan kenaikan upah. Akhirnya, kompromilah yang dijadikan dasar
penentuan keputusan. Yaitu kompromi dan sedikit lobby yang juga masih berlandaskan
paradigma feodal: Buruh hanya layak menerima yang minimum.
Paradigma Kelimpahan
Upaya menaikkan upah buruh dari minimum ke level yang juga
masih sama yaitu minimum untuk tahun berikutnya, adalah persoalan yang sangat kompleks.
Ini persoalanan jiwa dan harus menyentuh inti dari nurani manusia itu sendiri. Sebesar
apapun keuntungan yang diperoleh pengusaha, jika ia masih memegang prinsip feodalistik,
dorongan dari dasar hati untuk menaikkan upah buruh tidak akan pernah muncul
dengan sendirinya. Persoalan menaikkan gaji buruh dari minimal ke maksimal
harus terlebih dahulu merubah paradigma yang telah lama berakar dan berurat dalam
fikiran sebagian besar pengusaha kita.
Kita membutuhkan pengusaha yang memiliki paradigma kelimpahan yang jiwanya
terbebas dari belenggu feodal, yang mampu menerima prinsip kesetaraan bahwa
siapa saja berhak mendapatkan yang maksimal, baik pengusaha maupun buruh. Kita segenap
bangsa ini harus berupaya keras mendorong pengusaha kita merubah mindset dari
berfikir minimalis bagi kemanusaiaan ini menjadi pribadi yang berfikir mega dan
berkelimpahan. Kita mendorong budaya bangsa yang mampu menginternalisasikan bahwa
tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan
keuntungan adalah sarana bagi memperbaiki peradaban. Inilah inti persoalannya. Beberapa
Negara maju telah berhasil menerapakan konsep ini, seperti beberapa negara
Eropah, Korea Selatan dan Jepang yang puluhan tahun lalu juga masih belum berfikiran
berkelimpahan.
Bertahan Hidup 15 –
20 Hari
Besaran upah minimum yang diputuskan setiap tahun secara
real sesungguhnya tidak benar-benar berada pada garis minimal. Akan tetapi jika
benar-benar disurvey tanpa ada intervensi dari pihak manapun, upah minimum itu
ditetapkan jauh dari minimum. Artinya bisa saja 50 % atau 70 % dari kebutuhan
real buruh/pekerja. Dengan kata lain upah minimum yang ditetapkan selalu tidak
mampu memenuhi kebutuhan paling dasar buruh. Sehemat-hematnya buruh menggunakan
upahnya, mereka hanya mampu bertahan hidup 15-20 hari setiap bulan dari upah
yang mereka terima. Selebihnya berutang.
Bergantung Pada
Kemurahan Hati
Buruh sesungguhnya tidak suka berdemonstrasi menuntut
kenaikan upah setiap tahun. Bahkan buruh sama sekali tidak memiliki daya tekan untuk
menuntut. Sebab menuntut itu membutuhkan
konsep, perencanaan, perhitungan yang cermat dan analisa yang matang. Buruh
tidak memiliki kemampuan itu. Demonstrasi buruh sesungguhnya lebih mengarah
kepada spontan, iklas dan berhasil hanya karena adanya kemurahan hati.
Buktinya karena tuntutan mereka selalu tidak pernah
tercapai, buruh memilih mogok, sebuah tindakan tidak berdaya atau malah
frustrasi. Yang mereka tuntut adalah kebutuhannya terpenuhi dengan gaji yang
mereka terima. Sehingga persoalan mendasar bukan menaikkan upah buruh, tetapi
menstabilkan harga kebutuhan pokok buruh. Menstabilkan harga pokok kebutuhan
berarti mengontrol harga pasar pada batas kesanggupan/daya beli buruh. Lalu menyediakan
kebutuhan seperti sekolah, kesehatan, perumahan, transportasi yang terjangkau.
Tragisnya bagi buruh, yang selalu terjadi di Negara ini, harga
bahan pokok terlebih dahulu naik mendahului kenaikan upah minimum. Sehingga kenaikan upah minimum selalu tidak
mampu meningkatkan daya beli buruh, dan berarti pula kesejahteraan mereka tidak
pernah membaik. Fenomena ini dapat dilukiskan bahwa buruh menerima kenaikan
upah sedikit, tapi segera pengusaha juga menaikkan harga jual, sehingga
kenaikan itu toh kembali juga kepada pengusaha.
Tidak pernah bertahan di kantong buruh.
Melompat Ke Gagasan
Mega
Daripada terus-menerus berfokus pada paradigma lama
yaitu membahas Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh, lebih baik kita melompat naik
kelas ke gagasan mega dan berkelimpahan. Yaitu membahas gagasan Menaikkan Upah Maksimum Demi Kesejahteraan
Buruh Indonesia. Perubahan konsep ini membutuhkan perubahan budaya,
paradigma pengusaha kita dan dukungan politik yang kuat dari segenap elemen
bangsa. Sehingga hati dan fikiran kita menjadi menganut faham bahwa tujuan
akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan
keuntungan adalah sebagai pertanda bahwa perusahaan dan apa yang kita kerjakan telah
berjalan pada landasan yang benar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
mensejahterakan rakyatnya, tidak perduli sebagai buruh, karyawan, pengawai atau
apapun sebutannya. Dan pengusaha berjiwa dan memiliki visi besar adalah pengusaha
yang mampu memberikan kehidupan yang baik bagi karyawannya, bukan hanya sekedar
memberikan upah minimum untuk kehidupan minimum. Kita tinggalkan pola fikir
feodalistik minimalis itu, kita tatap masa depan dan bangkit sebagai bangsa
besar dengan para pengusaha besar sebagai lokomotif utamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar