Kamis, 03 April 2014

TUHAN MANA YANG MEMBERKATI NEGERI CINA?

                                 
Kesan pertama yang kuperoleh begitu sampai di Bandara Beijing, 26 Juni 2013, adalah bahwa negeri China sebuah Negara yang besar dan maju. Pantas mereka angkuh dan sedikit berbangga di hadapan dunia Internasional. Itu sangat wajar fikirku. Lalu esok harinya kami berangkat menuju Provinsi Shandong naik mobil. Sepanjang jalan kenangan, semuanya rapi, indah dan sangat luar biasa. Jalan tolnya sangat rapi, teratur, bersih dan panjang sekali. Sepanjang perjalanan sekitar 4,5 jam, kami tidak pernah bertemu dengan kemacetan. Ah… Indonesia, bangsaku tertinggal sangat jauh.

Di Provinsi Shandong kami bertemu denga pengusaha di sana tentang rencana pengiriman TKI/TKW dari Indonesia untuk sector Rumah Sakit dan Industri. Malamnya saya juga hampir pingsan karena disuguhi makanan sangat enak, banyak, sehat dan bergiji serta dicekoki dengan minuman beralkohol tanpa ampun. Ternyata, yg demikian itu adalah budaya masyarakat sana untuk menghormati tamu yang baru datang.
Selain itu, kami juga menyerahkan proposal kerjasama pembangunan kawasan Resort di Pulau Bintan dengan luas lahan sekitar 39 Ha. Soal Resort ini masih menunggu jawaban dari Konsorsium beberapa pengusaha di Shandong. 

Dari Shadong tgl 29 Juni 2013 kami berangkat naik Kereta Api listrik menuju Prov Tianjin. Perjalanan sekitar 2 jam. Keretanya bagus, bersih dan kontras  menunjukkan moda transportasi China yang modern. Kecepatannya sekitar 300 KM/H. Stasiun di Tianjin sangat bersih dan teratur, jauh dari kesan hiruk-pikuk. Pelataran parkirnya saja sekitar 2 HA. Hal seperti ini sampai sekarang belum kutemui di Indonesia.
 
Di Tianjin, informasinya kota ke 3 terbesar di negeri tirai bambu ini, kami meninjau pabrik pembuatan batu bata merah. Produksinya sekitar 200.000 bh bata / per hari. Sistemnya kelihatan sangat sederhana, semi modern. Sy salut dengan semangat kerja para buruh di pabrik itu.

Banyak wanita China dipekerjakan. Mungkin mereka memberdayakan masyarakat lokal sekitar lokasi pabrik. Khusus gaji buruh di bagian tungku pembakaran, mereka menerima 50.000 Yuan selama 9 bulan kerja, atau setara dengan Rp. 80.000.000,-. Sedangkan 3 bulan sisanya digunakan untuk istirahat musim dingin. Gaji yang cukup besar bila dibandingkan dengan gaji buruh di Indonesia untuk pekerjaan yang sama.
Untuk harga batu bata, jangan ditanya. Di Tianjin, harga jualnya setara dengan Rp. 600,-/Bh. Kualitasnya sangat bagus. Sedangkan harga di Tanjungpinang - Kepri, untuk ukuran bata yang sama dan kualitas lebih jelek, saat ini sudah mencapai Rp. 1.100,-/bh.
 
Sepanjang jalan dari Ibu Kota Provinsi Tianjin ke lokasi pabrik batu bata, perjalanan sekitar 2 jam, saya kagum melihat lahan pertanian jagung yang sagat luas. Saya perkirakan ada ribuan hektar. Bagaikan hamparan karpet tanpa batas. Semua menghijau rata sepanjang mata memandang. Saya kagum dengan system pertanian mereka. Andaikan para anggota DPRD, DPRRI dari Indonesia mau belajar/study banding tentang pertanian dari China, lalu diterapkan di Indonesia, saya yakin pertanian kita bisa ditingkatkan lebih baik lagi. China kelihatannya sangat berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Cina yang Negara komunis, mampu bangkit dari kemiskinan dalam  3 dekade belakangan ini.
 
Saya lantas berfikir, tidak ada korelasi antara suatu bangsa yang percaya dengan Tuhan dengan kemajuan suatu Negara. Artinya, China seolah menegaskan, China tidak butuh Tuhan. Tapi butuh semangat, tekad sekeras baja, kerja keras, individu-individu yang punya visi besar dan SDM yang terus ditingkatkan. Tiada jejak Tuhan saya lihat dalam seluk-beluk modernitas di China. Mungkin saya keliru. Jika demikian, Tuhan yang mana yang memberkati negeri Cina?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar