Kesan pertama yang kuperoleh begitu sampai di Bandara Beijing, 26 Juni
2013, adalah bahwa negeri China sebuah Negara yang besar dan maju. Pantas
mereka angkuh dan sedikit berbangga di hadapan dunia Internasional. Itu
sangat wajar fikirku. Lalu esok harinya kami berangkat menuju Provinsi
Shandong naik mobil. Sepanjang jalan kenangan, semuanya rapi, indah
dan sangat luar biasa. Jalan tolnya
sangat rapi, teratur, bersih dan panjang sekali. Sepanjang
perjalanan sekitar 4,5 jam, kami tidak pernah bertemu dengan kemacetan.
Ah… Indonesia, bangsaku tertinggal sangat jauh.
Di Provinsi Shandong kami bertemu denga pengusaha di sana tentang rencana pengiriman TKI/TKW dari Indonesia untuk sector Rumah Sakit dan Industri. Malamnya saya juga hampir pingsan karena disuguhi makanan sangat enak, banyak, sehat dan bergiji serta dicekoki dengan minuman beralkohol tanpa ampun. Ternyata, yg demikian itu adalah budaya masyarakat sana untuk menghormati tamu yang baru datang.
Selain itu, kami juga menyerahkan proposal kerjasama pembangunan kawasan Resort di Pulau Bintan dengan luas lahan sekitar 39 Ha. Soal Resort ini masih menunggu jawaban dari Konsorsium beberapa pengusaha di Shandong.
Dari Shadong tgl 29 Juni 2013 kami berangkat naik Kereta Api listrik menuju Prov Tianjin. Perjalanan sekitar 2 jam. Keretanya bagus, bersih dan kontras menunjukkan moda transportasi China yang modern. Kecepatannya sekitar 300 KM/H. Stasiun di Tianjin sangat bersih dan teratur, jauh dari kesan hiruk-pikuk. Pelataran parkirnya saja sekitar 2 HA. Hal seperti ini sampai sekarang belum kutemui di Indonesia.
Di Tianjin,
informasinya kota ke 3 terbesar di negeri tirai bambu ini, kami
meninjau pabrik pembuatan batu bata merah. Produksinya sekitar 200.000
bh bata / per hari. Sistemnya kelihatan sangat sederhana, semi modern. Sy
salut dengan semangat kerja para buruh di pabrik itu.
Banyak wanita China dipekerjakan. Mungkin mereka memberdayakan masyarakat lokal sekitar lokasi pabrik. Khusus gaji buruh di bagian tungku pembakaran, mereka menerima 50.000 Yuan selama 9 bulan kerja, atau setara dengan Rp. 80.000.000,-. Sedangkan 3 bulan sisanya digunakan untuk istirahat musim dingin. Gaji yang cukup besar bila dibandingkan dengan gaji buruh di Indonesia untuk pekerjaan yang sama.
Untuk harga batu bata, jangan ditanya. Di Tianjin, harga jualnya setara dengan Rp. 600,-/Bh. Kualitasnya sangat bagus. Sedangkan harga di Tanjungpinang - Kepri, untuk ukuran bata yang sama dan kualitas lebih jelek, saat ini sudah mencapai Rp. 1.100,-/bh.
Sepanjang jalan dari Ibu Kota Provinsi
Tianjin ke lokasi pabrik batu bata, perjalanan sekitar 2 jam, saya kagum
melihat lahan pertanian jagung yang sagat luas. Saya perkirakan ada
ribuan hektar. Bagaikan hamparan karpet tanpa batas. Semua menghijau
rata sepanjang mata memandang. Saya kagum dengan system pertanian
mereka. Andaikan para anggota DPRD, DPRRI dari Indonesia mau
belajar/study banding tentang pertanian dari China, lalu diterapkan di
Indonesia, saya yakin pertanian kita bisa ditingkatkan lebih baik lagi.
China kelihatannya sangat berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Cina
yang Negara komunis, mampu bangkit dari kemiskinan dalam 3 dekade
belakangan ini.
Saya lantas berfikir, tidak ada korelasi antara
suatu bangsa yang percaya dengan Tuhan dengan kemajuan
suatu Negara. Artinya, China seolah menegaskan, China tidak butuh
Tuhan. Tapi butuh semangat, tekad sekeras baja, kerja keras, individu-individu yang
punya visi besar dan SDM yang terus ditingkatkan. Tiada jejak Tuhan saya
lihat dalam seluk-beluk modernitas di China. Mungkin saya keliru. Jika demikian, Tuhan yang mana yang memberkati negeri Cina?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar