Lena
Maria Dan Pemilu Legislatif 2014
"Saya lebih memilih bersyukur atas apa yang dapat saya lakukan, daripada kecewa atas apa yang tidak dapat saya lakukan," demikian ungkapan inspiratif dari seorang Lena Maria
Lena Maria lahir di Swedia, 28 September 1968. Ia tidak seberuntung kita. Ia lahir cacat fisik, tanpa lengan dan hanya memiliki kaki kanan yang berfungsi normal, sedangkan kaki kirinya tidak dapat difungsikan dengan baik. Praktis ia hanya menggunakan kaki kanannya, dengan sedikit bantuan kaki kiri yang kecil untuk melakukan segala aktifitas setiap hari.
Meski dilahirkan dengan berbagai keterbatasan secara fisik, dalam hidupnya ia berusaha keras dan berjuang mati-matian mengupayakan yang terbaik, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga demi kebaikan orang lain. Pada usia 18 tahun Lena Maria menjadi juara dunia renang dan meraih medali emas.
Meski memiliki banyak keterbatasan, Lena Maria juga belajar musik dan lulus dari The Royal University College Of Music Swedia. Ia telah membuat beberapa album dan sukses mengadakan konser Internasional di Moskow, Latvia, Amerika, Hongkong, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan.
Dalam hidupnya, Lena Maria rajin mengadakan charity tour, mengunjungi beberapa orang yang cacat fisik di berbagai negara dan memberikan motivasi agar mereka terus berjuang melakukan yang terbaik. Lena Maria selalu mengatakan : "Lebih baik bersyukur atas apa yang dapat kita lakukan ketimbang kecewa dan mengutuki hal-hal yang tidak dapat kita lakukan".
Lena Maria memang terbatas dalam banyak hal. Ia cacat dan terbatas secara fisik. Tetapi ia tetap bersemangat dan sunguh-sungguh melakukan lebih banyak hal ketimbang menyesali keterbatasannya.
Kendati cacat fisik, tetapi Lena Maria tidak cacat mental. Saya menjamin, jika menonton sepenggal biografi Lena Maria di tautan http://www.youtube.com/watch?v=89Xi0tUj4hg, kita mesti terharu dan meneteskan air mata. Setelah menyimak, walaupun kita sehat lahir dan batin, kita tiba-tiba merasa kerdil di hadapan seorang Lena Maria.
Berbeda dengan situasi masyarakat kita menjelang Pemilu Legislatif 2014 saat ini. Banyak yang kelihatan sehat secara fisik, tidak kurang suatu apap pun dan secara fisik jauh lebih sempurna ketimbang seorang Lena Maria. Tapi sesungguhnya jika kita amati lebih jauh kondisi masyarakat kita hari-hari ini, jika kita renung-renungkan, banyak yang mengalami penyimpangan karakter. Ternyata kita tidak lebih baik dari Lena Maria yang tidak memiliki tangan itu. Dalam kesempurnaan kita, ternyata kita tidak lebih baik dari Lena Maria. Mengapa demikian?
Sebab kesempurnaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita, belum sepenuhnya kita gunakan untuk memuliakan Manusia dan Tuhan.
Pada masa menjelang Pemilu Legislatif 214 ini, kita masih banyak menemukan perilaku banyak pihak yang merendahkan martabat manusia. Kampanye yang mubajir dan hanya sekedar tebar pesona, janji-janji palsu yang jauh dari realitas dan sulit diterima akal sehat. Dimana-mana kita menemukan praktek money politik yang dilakukan Calon Anggota Legislatif berkolaborasi dengan masyarakat pemilik hak suara.
Di sinilah letak perbedaannya. Jika Lena
Maria menggunakan suaranya untuk memotivasi banyak orang di seluruh dunia, berbanding
terbalik dengan pemilik hak suara di negeri ini.
Karena
kita tidak sempat atau tidak memiliki kemampuan menghubung-hubungkan peristiwa
ini dengan nilai-nilai etika dan moral politik, maka semua praktik tidak sehat
itu terlihat seperti wajar-wajar saja. Ibaratkan penyakit yang dibawa-bawa,
akhirnya kelihatan dan terasa seperti
tidak sakit. Kemudian, karena sudah terbiasa, kita berfikir tidak ada yang
salah dengan semua itu.
Padahal
apa yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat saat ini, ibarat kita
menghujamkan belati ke jantung demokrasi Indonesia lalu membiarkannya
berdarah-darah dan terinfeksi akut. Praktik kotor dalam pesta demokrasi terus
berlangsung dari periode pemilu sebelumnya hingga ke periode pemilu sekarang
ini.
Seolah-olah
apa yang terjadi di masa lalu seperti berbagai kasus konspirasi dan korupsi
yang membelit mantan anggota DPRD, DPR RI dan beberapa Kepala Daerah di
Indonesia, belum cukup menjadi tamparan keras bagi kita semua. Padahal
kasus-kasus yang mempermalukan demokrasi kita itu bersumber dari kontribusi
individu-individu masyarakat pemilih, lalu terakumulasi dalam suara satu
kelurahan, suara masyarakat dalam satu kecamatan, suara masyarakat dari satu
kota/kabupaten dan tergabung menjadi suara masyarakat satu provinsi. Sekedar
sebagai contoh, suara yang demikian
itulah yang menghantarkan mantan anggota legislatife seperti Nazarudin,
Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Panda Nababan, Khairun Nisa dan masih
banyak contoh lainnya.
Sumber
utama masalahnya adalah, kita sebagai masyarakat pemilik hak suara, ketika
memilih seseorang di bilik TPS juga
berkontribusi menebarkan “virus” dan “bakteri” bagi penyebab terjadinya infeksi
yang menggerogoti kesehatan demokrasi Indonesia yang berdampak negatif baik di
tingkat lokal maupun di tingkat nasional dalam berbagai bentuk, misalnya : 1. Di antara kita masih banyak menjadikan
sejumput uang sebagai alasan memilih seorang calon anggota legislatife ataupun
calon kepala daerah, 2. Masyarakat kita belum menjadikan kualitas
intelektualitas, moral dan integritas calon sebagai indikator utama menjadi
alasan memilih seseorang di bilik TPS, 3. Masyarakat kita masih terpersok dalam
buaian janji-janji irrasional pada saat kampanye dan pesona janji –janji palsu itu
terbawa sampai ke bilik TPS. Padahal demokrasi yang sehat, baik dan bermartabat
adalah kontribusi dari setiap individu pemilih dan mereka yang kita pilih.
Demokrasi ideal yang kita idam-idamkan itu
dapat terwujud bila kita semua berani menolak dengan tegas setiap praktik kotor dalam Pemilu
Legislatif 2014 ini sekaligus membangun landasan mempersiapkan demokrasi yang
lebih berkualitas pada Pemili Legislatif periode berikutnya.
Lena Maria memang cacat fisik, tapi ia tidak cacat karakter. Ia teguh mendedikasikan hidupnya menjadi alasan atau penyebab bagi kebaikan orang lain. Sementara di negeri kita tercinta ini, banyak yang sempurna secara fisik, tapi mengidap sindrome yang berhubungan dengan penyimpangan moral. Dan kebanyakan kita menutup mata atas kenyataan itu. Masyarakat kita tidak berani jujur dan terbuka mengenai hal ini.
Lena Maria memang cacat fisik, tapi ia tidak cacat karakter. Ia teguh mendedikasikan hidupnya menjadi alasan atau penyebab bagi kebaikan orang lain. Sementara di negeri kita tercinta ini, banyak yang sempurna secara fisik, tapi mengidap sindrome yang berhubungan dengan penyimpangan moral. Dan kebanyakan kita menutup mata atas kenyataan itu. Masyarakat kita tidak berani jujur dan terbuka mengenai hal ini.
Kita
mungkin perlu mengundang Lena Maria hadir dalam kampanye Partai Politik di
negeri ini, agar kita dapat belajar nilai-nilai kebajikan daripadanya. Agar
kita lebih bersemangat dan belajar betapa kita memiliki peluang melakukan
hal-hal yang lebih baik dari apa yang ia lakukan. Agar kita dapat sadar bahwa
demokrasi kita telah lama larut dalam lumpur kepalsuan, larut dalam lumpur
demokrasi yang jauh dari kategori mulia.
Jika
Lena Maria yang cacat itu pun berani dan meneladankan kebaikan bagi orang lain,
mengapa kita yang sempurna ini tidak tergerak melakukan yang terbaik demi masa
depan anak-anak kita, bangsa dan Negara kita pada momentum pesta demokrasi ini?
Kita tidak perlu menunggu Pemilu Legislatif berikutnya, kita dapat melakukannya
pada tanggal 9 April 2014 nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar